Krisis Sampah Bandung Raya: Bom Waktu di Sarimukti dan Kegagalan Disiplin Daerah

9

Depok (14/11/2025) – Wilayah Bandung Raya menghadapi ancaman serius krisis sampah akibat pembatasan pembuangan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti. Pembatasan ini, yang seharusnya mengelola daya tahan TPA, justru mengungkap masalah yang lebih fundamental: ketidakdisiplinan dan kurangnya persiapan pemerintah kabupaten/kota.

Akar Masalah: Pelanggaran Sistemik dan Kegagalan Hilir

 

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Barat, Ai Saadiyah Dwidaningsih, menegaskan bahwa krisis ini bukan semata-mata karena kebijakan pembatasan, melainkan karena ketidakdisiplinan daerah dalam menjalankan aturan pengelolaan sampah.

1. Pelanggaran Kuota dan Jenis Sampah

 

DLH Jabar telah beralih dari sistem ritase ke tonase (menggunakan jembatan timbang) untuk mengontrol pembuangan ke Sarimukti. Hasilnya mengejutkan:

  • Kelebihan Kapasitas (Overload): Setelah konversi ke tonase, terlihat jelas banyak daerah melampaui kuota pembuangan seharusnya saat masih menggunakan ritase—indikasi ketidakdisiplinan yang menyebabkan Sarimukti overload.

  • Pencampuran Sampah: Aturan ketat DLH mewajibkan hanya sampah residu yang boleh masuk ke Sarimukti. Namun, kenyataannya, sampah organik yang seharusnya diolah di hulu (sumber) masih tercampur dan masuk ke TPA. Masuknya sampah organik ini membebani volume dan memperberat produksi air lindi (leachate).

2. Infrastruktur dan Edukasi Hulu yang Lemah

 

Masalah disiplin daerah berakar pada minimnya kesiapan di tingkat masyarakat:

  • Minimnya Edukasi: Edukasi soal pengelolaan sampah dari sumbernya kepada masyarakat masih jauh dari harapan.

  • Sarana Tidak Optimal: Fasilitas seperti Bank Sampah dan TPS3R (Tempat Pengelolaan Sampah Reduce-Reuse-Recycle) dinilai belum optimal. Ai menegaskan, hampir semua TPA di Jawa Barat masih menggunakan praktik open dumping (tanpa pengolahan), yang jauh dari standar ideal.

Paradoks Anggaran dan Dampak Lapangan

 

Masalah sistemik diperparah oleh minimnya komitmen anggaran daerah.

  • Anggaran Minim: Rata-rata dana pengelolaan sampah di kabupaten/kota hanya berkisar 1% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), bahkan ada yang di bawah angka tersebut. Angka ini dinilai tidak ideal untuk memenuhi kewajiban pengolahan dan pengangkutan.

  • Dampak Lapangan: Minimnya anggaran menyebabkan keterbatasan armada pengangkut dan pengawasan lapangan yang tidak maksimal.

Dampaknya terlihat nyata. Setelah pembatasan diberlakukan (misalnya, Kota Bandung dibatasi maksimal 981,31 ton harian), gunungan sampah kembali muncul di berbagai titik, seperti di Jalan Gunung Batu dan Pasar Induk Caringin. Di Caringin, tumpukan sampah (terutama sisa buah-buahan) bahkan bercampur air hujan, menciptakan pemandangan menjijikkan yang disebut ‘sop buah’ oleh warganet, menimbulkan bau menyengat, dan mengganggu kenyamanan.

Sanksi dan Tanggung Jawab Hukum

 

DLH Jabar tidak tinggal diam dan telah memberikan sanksi administratif kepada sejumlah kabupaten/kota. Ai memperingatkan bahwa jika pembiaran terus terjadi, sanksi bisa ditingkatkan sesuai undang-undang, bahkan hingga menyentuh ranah pidana.

DLH Jabar menegaskan kembali dasar hukum utama:

Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, kewenangan dan tanggung jawab utama pengolahan sampah ada di pemerintah kabupaten dan kota. Pemerintah provinsi hanya berperan membantu ketika daerah tidak mampu.

Masa Depan Sarimukti dan Legoknangka

 

Pembatasan ini dilakukan untuk memperpanjang usia layanan Sarimukti agar bisa bertahan dua tahun lagi, menunggu TPA Regional Legoknangka beroperasi. Tanpa pembatasan, Sarimukti diperkirakan akan tutup dalam hitungan bulan.

DLH Jabar mengimbau daerah untuk:

  1. Memperkuat pengelolaan hulu (edukasi, bank sampah, TPS3R).

  2. Menyiapkan sistem pengolahan sampah mandiri/alternatif selain bergantung pada Sarimukti, karena Sarimukti hanya bersifat membantu secara regional dan kapasitasnya sangat terbatas.

Ai menyimpulkan bahwa Sarimukti harus dijaga bersama, dan krisis sampah saat ini adalah cerminan dari kurangnya kesiapan daerah dalam menjalankan kewajiban mereka sesuai UU.

Komentar

komentar

BAGIKAN