Depok (17/11/2025) – Shutdown pemerintahan federal Amerika Serikat pada November 2025, yang tercatat sebagai yang terpanjang, menawarkan studi kasus penting bagi Indonesia. Ketika Washington lumpuh karena kebuntuan anggaran, sebuah fakta menarik muncul: sebagian besar layanan publik di tingkat negara bagian tetap berjalan normal. Sekolah, rumah sakit daerah, dan administrasi lokal tidak terganggu. Kontras ini menyoroti kerapuhan desentralisasi Indonesia, sebuah negara kesatuan dengan ketergantungan fiskal daerah yang sangat tinggi terhadap pusat.
Federalisme vs. Kewenangan Turunan: Perbedaan Pondasi Ketatanegaraan
Perbandingan struktur negara membuka celah fundamental dalam daya tahan saat menghadapi tekanan politik dan fiskal:
| Aspek | Amerika Serikat (Federalisme) | Indonesia (Negara Kesatuan & Desentralisasi) |
| Kedaulatan & Kewenangan | Kedaulatan Dibagi: Negara bagian memiliki kewenangan asli, independen, dan melekat sejak awal. Pusat berfungsi sebagai koordinator. | Kewenangan Didelegasikan: Kedaulatan penuh ada di Pusat. Otonomi daerah adalah pendelegasian yang diberikan melalui UU, bersifat turunan, dan dapat ditinjau ulang. |
| Dampak Gangguan Pusat | Resilien: Ketika anggaran federal macet, negara bagian beroperasi mandiri, layanan publik tidak terguncang. | Rentan: Gangguan di pusat (krisis anggaran/politik) merambat cepat, mengancam stabilitas layanan daerah. |
Di AS, negara bagian memiliki basis kewenangan, parlemen, pajak, dan anggaran sendiri. Di Indonesia, daerah bekerja dalam kerangka yang sepenuhnya ditentukan oleh Pusat. Ini menjadikan daerah Indonesia secara inheren lebih rentan terhadap guncangan pusat.
Krisis Fiskal: Titik Kerentanan Terbesar Indonesia
Perbedaan paling mendasar terletak pada ketahanan fiskal. Sistem federal AS mendasarkan pembiayaan layanan publik pada pajak negara bagian dan pendapatan lokal (PAD), menjamin stabilitas layanan dasar bahkan selama shutdown federal.
Sebaliknya, daerah di Indonesia berada dalam situasi kritis:
-
Ketergantungan Masif: Lebih dari 80% daerah memperoleh lebih dari separuh APBD-nya dari transfer pusat (DAU, DAK, dll.).
-
Belanja Publik: Banyak daerah mencatatkan 60–80% belanja publik mereka berasal dari transfer Pusat.
-
Risiko Pembekuan Layanan: Simulasi fiskal menunjukkan bahwa keterlambatan transfer pusat selama satu bulan saja berpotiko melumpuhkan kemampuan daerah untuk membayar gaji ASN (guru, nakes), menghentikan operasional puskesmas, dan mengganggu administrasi kecamatan.
Dalam konteks Indonesia, shutdown versi domestik tidak akan terbatas pada kementerian pusat; ia akan merembet cepat menjadi krisis pemerintahan nasional yang langsung dan luas dirasakan masyarakat.
Pengawasan dan Intervensi Pusat
Selain aspek fiskal, kerangka negara kesatuan memberikan kewenangan pembinaan dan pengawasan yang komprehensif kepada Pusat. Pusat dapat melakukan intervensi, mengambil alih urusan pelayanan dasar, atau menunjuk penjabat kepala daerah jika terjadi kekosongan.
Meskipun desentralisasi telah berjalan dua dekade, praktik ini menunjukkan bahwa ketahanan daerah sangat bergantung pada stabilitas administratif dan fiskal Pusat. Sebuah gangguan kecil di Jakarta dapat memiliki efek domino yang luas dan cepat secara sosial, ekonomi, dan politik di seluruh nusantara.
Pelajaran Kunci: Membangun Bantalan Negara
Shutdown AS adalah lonceng peringatan bagi Indonesia. Ketahanan negara tidak diukur dari soliditas Pemerintah Pusat semata, tetapi dari kapasitas daerah untuk menjalankan layanan publik secara mandiri.
Indonesia tidak perlu meniru sistem federal. Pelajaran utamanya adalah: Desentralisasi tidak boleh hanya bersifat pendelegasian administratif.
Untuk memperkuat daya tahan negara, Otonomi Daerah harus didukung oleh:
-
Kemandirian Fiskal: Memperluas sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara signifikan.
-
Peningkatan Kapasitas: Memperbaiki kualitas birokrasi lokal.
-
Inovasi Tata Kelola: Memberi ruang lebih besar bagi inovasi daerah.
Memperkuat kemandirian daerah adalah investasi strategis untuk ketahanan nasional. Daerah yang kuat berfungsi sebagai bantalan saat Pusat terguncang. Sebaliknya, ketergantungan masif menciptakan kerentanan, di mana guncangan kecil pun dapat menimbulkan dampak nasional yang besar. Negara yang kuat adalah negara yang daerah-daerahnya mampu berdiri tegak tanpa harus menunggu instruksi dari ibu kota.







































