Depok (02/12/2025) – Kawasan ikonik perkebunan teh Pangalengan, Kabupaten Bandung, dicoreng oleh kerusakan lingkungan masif yang kini menjadi perhatian nasional. Lebih dari 150 hektare lahan perkebunan teh PTPN Malabar telah dibabat habis oleh kelompok tak bertanggung jawab, setara dengan luasan 210 lapangan sepak bola standar FIFA. Kerusakan ini diduga kuat bertujuan mengalihfungsikan lahan menjadi area tanam sayuran, sebuah tindakan yang berisiko fatal.
Ancaman Bencana dan Respon Bupati
Bupati Bandung, Dadang Supriatna, yang turun langsung ke lokasi, meluapkan amarahnya. Ia mengingatkan bahwa penebangan serupa sebelumnya telah memicu banjir bandang di Pangalengan, dan menegaskan bahwa kerusakan yang terjadi antara tahun 2024 hingga November 2025 ini harus dihentikan agar bencana besar seperti di Sumatera Utara tidak terulang.
“Ini bisa berakibat fatal. Tentunya, kami tidak berharap Pangalengan ini tenggelam. Tapi seandainya ada perusakan lingkungan, maka ini akan menjadi ancaman,” ucap Dadang, mengimbau warga agar tidak terprovokasi oleh pihak-pihak yang menyuruh penebangan ilegal.
Tindakan Hukum Memburu Dalang Utama
Pihak kepolisian telah bertindak tegas. Kapolresta Bandung, Kombes Pol Aldi Subartono, mengonfirmasi bahwa penyelidikan sedang berjalan.
-
Progres: Sejumlah saksi telah diperiksa, dan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) telah dilakukan.
-
Target Utama: Polisi telah mengidentifikasi beberapa pelaku dan menargetkan untuk mengejar dalang utama atau “donatur” yang menyediakan modal dan menggerakkan warga untuk melakukan perusakan.
Analisis Ilmiah ITB: Kenaikan Run Off Ancaman Utama
Secara terpisah, pakar dari ITB, Dr. Heri Andreas, Dosen Teknik Geodesi dan Geomatika, memberikan peringatan ilmiah yang kuat terkait dampak alih fungsi lahan.
Heri Andreas menjelaskan bahwa kemampuan tanah menyerap air (infiltrasi) sangat tergantung pada tata guna lahan.
-
Lahan Hijau (Hutan): Infiltrasi bisa mencapai 80%, dengan limpasan (run off) hanya 20%.
-
Lahan Terbangun/Babat: Infiltrasi turun drastis menjadi 20%, sementara limpasan air melonjak hingga 80%.
“Kalau kawasan hijau dialihfungsikan menjadi lahan terbangun, infiltrasinya bisa tinggal 20 persen saja, sementara run off-nya melonjak hingga 80 persen. Ini jelas masalah,” jelas Heri.
Ketika limpasan air meningkat, beban sungai, danau, dan drainase kota akan melampaui kapasitas tampung, yang berujung pada banjir fluvial dan pluvial yang sering melanda Bandung Raya.
Heri mengkritik mitigasi yang selama ini dilakukan pemerintah daerah karena minimnya ** evidence-based solution**. Ia mendesak pengendalian alih fungsi lahan harus menjadi prioritas, didukung simulasi data presipitasi, infiltrasi, dan run off yang akurat, sebelum Bandung menghadapi konsekuensi fatal dari pola hujan ekstrem yang didorong perubahan iklim.




































