Depok (05/12/2025) – Bencana banjir dan tanah longsor dahsyat di ujung utara Sumatera menjadi sorotan media Amerika Serikat, The New York Times, yang menganalisis peran signifikan aktivitas manusia—khususnya deforestasi—dalam memperparah kerusakan. Laporan berjudul “Where Floodwaters Turned Piles of Timber Into Floating Battering Rams” menyoroti pemandangan tumpukan kayu yang terbawa banjir sebagai indikator utama dari masalah di hulu.
Siklon Senyar yang menerjang Indonesia pekan lalu membawa hujan deras tak terbayangkan, dengan satu daerah di Aceh diguyur $16$ inci air dalam sehari.
“Ke mana pun Anda memandang—kiri dan kanan di sepanjang jalan—ada tumpukan kayu. Itulah yang menghantam rumah-rumah warga,” ungkap Sarma Hutajulu, seorang relawan di Kecamatan Tukka, Sumatera Utara.
Bencana ini telah menewaskan sedikitnya 836 orang per Kamis lalu di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, dengan ratusan lainnya masih hilang dan lebih dari $570.000$ orang mengungsi.
Akar Masalah: Hutan Hilang di Hulu
Para pakar dan aktivis lingkungan sepakat bahwa dahsyatnya badai ini diperparah oleh deforestasi selama puluhan tahun. Hutan alam Sumatera telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, perkebunan kayu pulp, dan tambang emas. Kayu gelondongan dari sisa-sisa kegiatan ini kemudian berfungsi sebagai pelantak terapung yang menghancurkan permukiman.
Aktivis lingkungan, Walden Sitanggang, menegaskan, “Kayu gelondongan tidak jatuh begitu saja dari langit—pasti berasal dari kegiatan penebangan di hulu.”
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengakui pada DPR bahwa bencana ini tidak murni disebabkan alam. Ia menyebut puluhan ribu hektare hutan hilang sejak 1990 di tiga provinsi terdampak. Pemerintah berencana mengevaluasi izin lingkungan seluruh operasi di Batang Toru dan memanggil pejabat perusahaan yang bertanggung jawab.
Kritik terhadap Kesiapsiagaan dan Konteks Iklim Global
Selain masalah lingkungan, laporan tersebut juga menyoroti kurangnya kesiapsiagaan di tingkat daerah:
-
Peringatan BMKG Diabaikan: Kepala BMKG, Teuku Faisal Fathani, menyebut pihaknya telah memperingatkan pemerintah daerah tentang Badai Senyar delapan hari sebelum siklon terbentuk penuh, namun tidak semua kepala daerah bersiaga.
-
Korban Tanpa Peringatan: Warga seperti Alya Galuh Rahmadya Jeanitha (29) di Lhokseumawe, Aceh, mengaku tidak menerima peringatan dini apa pun. Di Sumatera Utara, banjir dan longsor terjadi hampir bersamaan, hanya menyisakan waktu beberapa menit untuk bereaksi.
Secara global, para pakar iklim seperti Roxy Mathew Koll dari Institut Meteorologi Tropis India menyebut bencana ini sebagai “risiko yang berjenjang.” Lautan yang lebih hangat membebani badai dengan lebih banyak kelembapan, meningkatkan intensitas hujan ekstrem. Penelitian oleh Andra J Garner dari Universitas Rowan juga menemukan bahwa badai cenderung menguat lebih cepat di dekat garis pantai Asia Tenggara dan bergerak lebih lambat di daratan, yang memperpanjang durasi paparan bahaya bagi masyarakat.
Sementara itu, pekerja bantuan di lapangan melaporkan kondisi yang memburuk, dengan banyak pengungsi menghadapi kelangkaan air bersih, makanan, dan popok.





































