Sabtu siang, 27 September 2025, lalu lintas di Jalan Raya Parung–Ciputat, Kecamatan Bojongsari, mendadak ricuh. Sebuah angkot trayek 29 jurusan Parung–Ciputat dengan nomor polisi B 1918 WTC hilang kendali. Bukannya melaju tenang, kendaraan usang itu justru melompat ke jalur lawan arah.
Benturan keras tak terelakkan. Angkot yang dikemudikan sopir berinisial JA menghantam motor Yamaha Mio M3 B 6804 ZID dari arah berlawanan. Tak berhenti di situ, sebuah Toyota Avanza yang dikemudikan IR pun ikut menjadi korban tabrakan beruntun tersebut.
Kanit Laka Satlantas Polres Metro Depok, AKP Burhan, menegaskan kecelakaan ini akibat sopir tak mampu mengendalikan laju angkot. “Pengendara motor AR mengalami luka parah di bagian wajah dan sudah dilarikan ke RSUD Depok untuk mendapat perawatan. Sopir angkot kini diamankan untuk penyelidikan lebih lanjut,” jelasnya.
Kondisi angkot itu seolah menjadi gambaran nyata masalah transportasi di Depok. Pada hari yang sama, di Jalan Margonda dekat ITC Depok, sebuah angkot lain tiba-tiba mogok. Ban kendaraan terlepas dari velg, membuat perjalanan penumpang terhenti mendadak.
Banyak pihak menduga akar masalahnya sama: angkot-angkot beroperasi tanpa kelayakan teknis. Sejumlah unit diketahui tak lagi memiliki uji KIR yang aktif, bahkan sarana keselamatan pun minim. Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, Dinas Perhubungan Kota Depok belum memberi jawaban resmi terkait kasus ini.
Kondisi ini bukan hal baru. Fredy Djuhardi, Sekretaris Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Depok, mengakui ada pekerjaan rumah besar dalam memberdayakan angkot. “Banyak kendaraan berusia tua. Peremajaan sulit dilakukan, karena lembaga pembiayaan tak lagi mau mendukung sektor angkutan umum. Akibatnya, sopir hanya bisa bertahan dengan unit lama yang seadanya,” paparnya.
Menurutnya, ada dua hambatan utama. Pertama, dampak pemulihan ekonomi pasca pandemi yang masih berat bagi sektor transportasi. Kedua, berhentinya dukungan pembiayaan dari lembaga resmi, sehingga sopir harus mengandalkan peremajaan ala kadarnya dengan modal pribadi.
Realita ini menempatkan penumpang dan pengguna jalan dalam posisi rentan. Angkot yang semestinya menjadi transportasi rakyat justru bisa menjelma ancaman bila tak segera ditangani.