Depok (21/11/2025) – Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk melanjutkan rencana penjualan jet tempur siluman F-35 ke Arab Saudi memicu gelombang kekhawatiran di Timur Tengah, meskipun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tampak meredam kekhawatiran tersebut di ranah publik.
Penjualan pesawat tempur generasi kelima yang canggih ini diizinkan Washington dengan janji bahwa mereka akan tetap mematuhi komitmen hukum AS untuk menjaga Keunggulan Militer Kualitatif (QME) Israel.
Sikap Israel: Meremehkan di Depan Publik, Khawatir di Belakang Layar
Netanyahu, dalam wawancaranya dengan media Israel Abu Ali Express, berusaha menenangkan kekhawatiran domestik, merujuk pada jaminan yang ia terima dari Washington.
“Mengenai F-35, saya telah berdiskusi panjang lebar dengan Menteri Luar Negeri [AS] Marco Rubio, yang menegaskan kembali komitmennya bahwa Amerika Serikat akan terus mempertahankan keunggulan militer kualitatif Israel dalam segala hal yang berkaitan dengan penyediaan senjata dan sistem militer ke negara-negara di Timur Tengah,” ujar Netanyahu.
Meskipun demikian, sebelumnya, Militer Israel (IDF) telah secara resmi menyatakan keberatan kepada eselon politiknya, khawatir penjualan F-35 ke Riyadh dapat menghambat superioritas udara Israel di kawasan.
Netanyahu juga mencoba meredam spekulasi penjualan F-35 ke Turki, meskipun ia mengakui “kemungkinan itu ada.” Ia membandingkan tingkat ancaman:
“Arab Saudi bukanlah negara yang berkonfrontasi dengan kami, [sehingga sikap kami] akan menjadi sikap yang semakin diperkuat dalam hal penjualan F-35 ke Turki.”
Diplomasi dan Konflik Palestina
Keputusan Trump untuk menjual F-35 bertepatan dengan upaya Pangeran Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MBS), untuk membangun hubungan dengan Israel. Dalam kunjungannya ke Gedung Putih, MBS menegaskan bahwa berdirinya Negara Palestina yang merdeka tetap menjadi syarat utama normalisasi.
Trump sendiri berusaha meredam ketegangan keseimbangan kekuatan, menyatakan: “Israel sudah tahu, dan mereka akan sangat senang,” mengenai kesepakatan Saudi.
Netanyahu, di sisi lain, menunjukkan optimisme yang kontras mengenai normalisasi dengan Saudi, namun menolak syarat kedaulatan Palestina:
Mengenai desakan Arab Saudi untuk kenegaraan Palestina, Netanyahu mengatakan: “Tidak akan ada Negara Palestina.“
Sikap Netanyahu yang keras terhadap isu Palestina menggarisbawahi kompleksitas aliansi regional, di mana kesepakatan persenjataan AS dan janji QME menjadi faktor kunci dalam menjaga keseimbangan kekuatan yang rapuh.






































