Depok (16/12/2025) – Freemasonry, sebuah persaudaraan sosial yang berakar dari tradisi tukang batu di Eropa pada abad ke-17, menemukan jalannya hingga ke Hindia Belanda melalui pengaruh kolonial. Di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, organisasi ini didirikan oleh kaum elit terdidik Eropa dan meninggalkan jejak loji di kota-kota besar seperti Batavia, Surabaya, dan Bandung.
Sint Jan: Loji Raksasa di Jantung Bandung
Di Kota Kembang, jejak Freemasonry paling signifikan tertanam pada Loji Sint Jan. Didirikan pada tahun 1896 sebagai loji ke-13, Sint Jan merupakan salah satu loji terbesar dan paling aktif di Hindia Belanda, berlokasi strategis di Jalan Wastukencana.
Loji Sint Jan tidak hanya menjadi pusat ritual dan jaringan sosial kaum elit Eropa, tetapi juga berperan besar dalam aktivitas publik, terutama di bidang pendidikan:
-
Pendidikan Netral: Loji Sint Jan mendirikan sekolah-sekolah umum dan netral. Langkah ini diambil untuk menyeimbangkan dominasi sekolah-sekolah Kristen dan Katolik yang cenderung eksklusif bagi bangsawan dan anak-anak Eropa. Salah satu inisiatif mereka adalah perkumpulan Pro Juventute yang fokus pada pendidikan anak.
-
Pengembangan Ilmu Pengetahuan: Peran Freemasonry di Bandung tercatat penting dalam perkembangan pendidikan teknis, bahkan dikaitkan dengan pendirian institusi cikal bakal ITB.
-
Layanan Publik: Loji Sint Jan mendirikan perpustakaan umum, De Openbare Bibliotheek van Bandoeng, di Gedung Kweekschool (kini Polrestabes Bandung) pada tahun 1891.
Dekat tapi Tak Terdaftar: Relasi Elit Sunda
Meskipun keanggotaan Freemasonry sangat tertutup dan didominasi kaum terdidik Eropa, beberapa tokoh penting di Jawa Barat memiliki kedekatan ideologis dan sosial dengan organisasi ini.
Contoh terkemuka adalah R.A.A. Wiranatakusumah V (1888–1950). Sebagai elit Sunda dengan latar belakang pendidikan Barat yang mapan, mantan Bupati Bandung dan Wali Negara Pasundan ini akrab berinteraksi dengan pejabat Eropa dan kalangan intelektual. Minat elit Sunda terhadap modernisasi, filsafat, dan etika universal—sering dipengaruhi doktrin Theosofi—menjadi jembatan ideologis menuju Freemasonry.
Akhir Kontroversial dan Stigma “Gedung Setan”
Aktivitas Freemasonry di Indonesia berakhir secara paksa pada masa Pendudukan Jepang, yang bersekutu dengan Jerman dan memusuhi organisasi yang dianggap berelasi dengan Yahudi dan Freemason.
Setelah kemerdekaan, upaya untuk mengaktifkan kembali loji tidak bertahan lama. Presiden Soekarno memerintahkan pelarangan total terhadap Freemasonry, bahkan memerintahkan pembongkaran Gedung Loji Sint Jan.
Terlepas dari kontribusi sosialnya, Freemasonry selalu diselimuti misteri dan stigma negatif. Pertemuan yang tertutup, ditambah gaya arsitektur loji yang besar namun minim jendela, memicu pandangan eksklusif. Hal ini menyebabkan Loji Sint Jan di Bandung dikenal masyarakat sekitar dengan sebutan populer yang keliru: “gedung setan”, mencerminkan persepsi negatif masyarakat terhadap simbolisme dan kerahasiaannya. Organisasi ini tetap menyimpan banyak rahasia internal yang belum terungkap hingga kini.




































