
Hariandepok.id | Senin, 21 Oktober 2024 – Penerapan sistem zonasi sekolah pada penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) selalu memiliki cerita pro-kontra, salah satunya di Kota Depok.
Sistem yang diberlakukan sejak 2017 tersebut dinilai menyulitkan calon siswa mendapatkan sekolah, merepotkan orangtua siswa, dan diwarnai manipulasi Kartu Keluarga (KK) serta piagam agar peserta bisa lolos seleksi ke sekolah yang dituju.
Sejak kapan diberlakukan?
Sistem zonasi diimplementasikan secara bertahap sejak 2016 yang diawali dengan penggunaan zonasi untuk penyelenggaraan ujian nasional. Sistem ini kemudian diterapkan pertama kalinya dalam PPDB pada 2017.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang kali pertama menerapkan sistem zonasi sekolah adalah Muhadjir Effendy.
Pemberlakukan sistem zonasi ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Mendikbud (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat.
Permendikbud tersebut mengatur, sistem zonasi harus diterapkan sekolah ketika menyeleksi calon peserta didik baru. Pada saat itu, sistem zonasi mengharuskan sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah.
Jumlah yang diterima berdasarkan radius zona terdekat sebanyak 90 persen dari total jumlah peserta didik yang diterima. Lolos atau tidaknya siswa ditentukan oleh domisili sesuai alamat pada KK yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum PPDB dilaksanakan. Sementara kuota 10 persen diisi oleh calon peserta didik melalui jalur prestasi dan perpindahan domisili.
Tujuan Sistem Zonasi
Muhadjir mengatakan, pihaknya memberlakukan sistem zonasi karena menjalankan arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal pentingnya pemerataan kualitas pendidikan.
“Semua sekolah harus jadi sekolah favorit. Semoga tidak ada lagi sekolah yang mutunya rendah,” ujarnya dikutip dari laman Kemendikbud, Rabu (7/5/2017).
Menurut dia, sistem tersebut merupakan rangkaian kebijakan yang utuh, terintegrasi, dan sistemik dalam restorasi pendidikan.
Ia menambahkan, sistem zonasi merupakan bentuk penyesuaian kebijakan dari sistem rayonisasi yang lebih memerhatikan capaian siswa pada bidang akademik.
Sementara, sistem zonasi menekankan pada jarak atau radius rumah siswa dengan sekolah.
“Kebijakan ini bukan merupakan kebijakan yang terlepas dari rangkaian kebijakan sebelumnya maupun yang akan datang,” kata Muhadjir dikutip dari laman Kemendikbud, Senin (25/6/2018).
Sistem zonasi juga bertujuan untuk mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga, menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah, khususnya sekolah negeri, dan membantu analisis perhitungan kebutuhan dan distribusi guru.
Sistem tersebut diyakini dapat mendorong kreativitas pendidik dalam pembelajaran dengan kondisi siswa yang heterogen dan membantu pemerintah daerah dalam memberikan bantuan atau afirmasi.
Dengan begitu, bantuan yang diberikan lebih tepat sasaran, baik berupa sarana prasarana sekolah, maupun peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan.
Nadiem Makarim Putuskan Lanjutkan Sistem Zonasi
Setelah Muhadjir tidak lagi menjabat sebagai Mendikbud pada 2019, sistem zonasi tetap diberlakukan karena dinilai penting dan merupakan kebijakan yang patut dilanjutkan.
Hal tersebut dikatakan oleh Nadiem Anwar Makarim yang ditunjuk Jokowi sebagai Mendikbud periode 2019-2024.
Nadiem tidak menampik penerapan sistem zonasi membuat dirinya repot, namun ia berkomitmen melanjutkan kebijakan ini.
Menurutnya, keberlanjutan sistem zonasi merupakan contoh continuity, yaitu dengan mendorong dan melanjutkan program dari menteri sebelumnya.
“Itu zonasi, kebijakan zonasi itu bukan kebijakan saya (tapi) itu kebijakan sebelumnya, Pak Muhadjir. Tapi itu kita sebagai satu tim merasa ini adalah suatu kebijakan yang sangat penting, yang sudah pasti bakal merepotkan saya. Saya kena getahnya setiap tahun karena zonasi,” kata Nadiem dikutip dari Kompas.com, Sabtu (28/7/2023).
Manfaat Sistem Zonasi
Tak bisa dimungkiri bahwa penerapan sistem zonasi masih belum sempurna, namun sistem ini setidaknya memberikan beberapa manfaat.
Dilansir dari Kompas.id, Sabtu (20/7/2024), sistem zonasi berguna untuk mengoptimalkan tripusat pendidikan dalam penguatan pendidikan karakter.
Selain itu, sistem tersebut bermanfaat untuk mendekatkan siswa dengan lingkungan sekolah sekaligus memudahkan upaya peningkatan kapasitas guru.
Manfaat lain yang dapat dirasakan dengan sistem zonasi adalah pemerataan akses pendidikan, menghilangkan praktik jual beli kursi, dan pungli.
Sistem zonasi juga berguna sebagai data valid sebagai dasar intervensi bagi pemerintah pusat dan daerah terhadap proses belajar mengajar dan menciptakan kondisi kelas yang heterogen sehinngga siswa mampu bekerja sama.
Masalah Sistem Zonasi
Berdasarkan laporan Ombudsman pada Juni 2024, ada 12 masalah yang muncul ketika sistem zonasi diterapkan. Masalah tersebut, yakni:
- Kelalaian operator atau ketidaktepatan verifikasi atas jarak sekolah dan tempat tinggal siswa;
- Penggunaan surat keterangan domisili yang tidak di legalisir atau diduga terjadi pemalsuan;
- Dugaan pemalsuan dan ketidakjelasan klasifikasi sertifikasi prestasi;
- Dugaan oknum komite dan pejabat yang mengintervensi pada proses PPDB;
- Dugaan adanya titipan pejabat di sekolah tertentu;
- Ketidaksinkronan antara NISN dengan data di Admindukcapil;
- Keterlambatan verifikasi data Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) pada jalur afirmasi;
- Penambahan jalur pendaftaran offline oleh sejumlah sekolah favorit;
- Kelebihan daya tampung;
- Dugaan jual beli kursi Praktik jual beli atribut sekolah di mana siswa diwajibkan membeli ke sekolah;
- Kelemahan server atau seringnya mati saat akses siswa mendaftar tinggi. Itulah kilas balik sistem zonasi sekolah yang kerap menuai kritik setiap tahun ajaran baru.
Itulah kilas balik dari Sistem Zonasi yang diterapkan di Indonesia, dimana sistem ini diberlakukan oleh kementerian bukan pada pemerintah provinsi maupun kota/kabupaten.
Sejatinya pemerintah provinsi dan kota/kabupaten hanya menjalankan yang sudah diberlakukan oleh kementerian melalui Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang PPDB pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat.